Hanya
ilustrasi (ABSFreePic)
Sebelum
membaca bagian 4
(terakhir)
ini, sebaiknya membaca bagian 1, 2
dan 3
terlebih dulu:
Letakkan
si kecil di pangkuanmu, perintahku, dan pegang kuat kuat kedua
lengannya. Tetapi, si anak serta merta berteriak.
Jangan
sakiti aku. Lepaskan kedua tanganku. Lepaskan….. Kemudian menjerit ketakutan dengan histeris. Hentikan! Hentikan! Engkau
membunuhku!
Dokter!
Kamu pikir dia bisa tahan? Gumam si emak
Kamu
sebaiknya keluar, kata suami ke istri. Apakah kamu mau anakmu mati
karena difteri?
Hayo,
sekarang pegang dia, kataku.
Kemudian,
aku memegang kepala anak itu dengan tangan kiri dan coba memasukkan
penekan lidah terbuat dari kayu diantara giginya.
Dia
melawan dengan mengatup gigi sekuat
tenaga!
Sekarang aku mulai marah kepada si anak. Aku berusaha tenang, tapi
sepertinya tak bisa.
Sebenarnya
aku tahu cara membuka tenggorokan untuk diperiksa. Aku telah berbuat
yang terbaik.
Ketika
spatula (sudip) kayu menyentuh gigi terakhir dan menyentuh rongga
mulut, si kecil membuka mulutnya secara tiba tiba, tetapi sebelum aku
bisa melihat apapun dia menutup lagi dan menggigit
kayu
spatula dengan gigi graham sehingga kayu spatula pecah sebelum aku
menariknya keluar dari mulut si kecil.
Apakah
kamu tak malu, teriak si emak. Tidakkah kamu malu bertingkah seperti
itu di depan dokter?
Beri
aku sendok, katuku ke emak anak itu. Kita akan lakukan sampai bisa.
Mulut si anak sudah kelihatan berdarah. Lidahnya terluka dan dia
berteriak teriak histeris.
Barangkali,
aku mesti berhenti dan datang kembali setelah sejam atau lebih. Tak
diragukan, hasilnya akan lebih baik.
Tapi,
aku telah menyaksikan paling tidak dua anak kecil yang mati karena
sakit ini, dan perasaan aku mesti mendiagnosanya sekarang atau tidak
sama sekali.
Anak
degil ini harus dilindungi dari kebodohannya,
aku berkata pada diriku sendiri pada saat saat genting seperti ini.
Pikiranku
benar secara sosial. Tapi, sebenarnya sebagai orang dewasa aku malu
juga dengan kelakuan si anak. Namun demikian kemarahanku akhirnya
pelan pelan reda.
Dengan
sekuat tenaga aku cekik leher si anak, aku dorong sendok perak sampai
ke belakang gigi paling belakang dan kebawah tenggorokan sampai dia muntah.
Astaga…..
benar…. Kedua tonsil (amandel) telah tertutup oleh semacam selimut
(lendir). Bakteri
telah berkembang biak di sana.
Ternyata
dia mati matian menyerangku untuk menutupi rahasia kondisi sebenar.
Tenggorokannya telah sakit selama tiga hari.
Air
matanya menetes, marah, karena aku telah berhasil memaksa membuka
mulutnya, dan
mengetahui rahasianya.
#
Selesai.
Diterjemahkan
dan dimodifikasi dari judul asli: The
Use of Force oleh William Carlos Williams. Cerpen ini dikarang
sebelum tahun 1963.