Sawan Fibrosis: Pada Sebuah Wabah Penyakit – Cerpen 3 – bagian 1

Friday, May 1, 2020

Pada Sebuah Wabah Penyakit – Cerpen 3 – bagian 1

Virus, ilustrasi (credit to Waag)

Kamu” pikir kamu akan “menyerang” aku? Ada sesuatu kejadian akan menimpamu, karena aku sudah ambil ancang ancang atas kelakuanmu.

Karena itulah ada sebuah kartu di dalam dompetku yang menyebutkan aku berdarah AB negatif, serta menyatakan aku alergy terhadap penicillin, aspirin, dan phenylalanine.

Pernyataan lain di kartu adalah aku seorong ilmuwan yang punya komitmen terhadap agama. Semua info ini diharapkan menghambat keinginanmu bila saatnya tiba, sangat pasti akan segera datang.

Meskipun jika akan menyebabkan perbedaan antara hidup dan mati, aku tidak akan membiarkan siapun memasukkan jarum transfusi ke lenganku. Tidakkan pernah darah bantuan masuk kedalam tubuhku.

Tubuhku sudah punya antibody. Jadi menjauhlah dariku. Aku takkan menjadi korbanmu. Aku takkan membiarkan diriku jadi inang perantara.

Aku tahu kelemahanmu. Engkau rapuh, seperti iblis yang tidak kelihatan. Engkau tidak bisa hidup di udara, panas, dingin, asam atau di lingkungan basa. Dari darah ke darah, itulah rutemu.

Apa kelebihanmu dari yang lain? Kamu pikir kamu telah berevolusi dengan cara sempurna?

Apa panggilan Leslie Adgeson terhadapmu? Master yang sempurna? Virus teladan?

Aku ingat, dulu, ketika HIV, virus AIDS membuat semua orang takjub dengan struktur mematikan. Tapi jika dibandingkan dengan kamu, HIV hanyalah tukang jagal yang kasar.

Seorang maniak dengan gergaji mesin, kesalahan besarmu adalah membunuh “inang perantara” dan transmisimu sangat tergantung pada kebiasaan manusia yang jika sedikit berusaha, akan mampu mengontrolmu.

HIV punya trik tinggi, jika dibandingkan denganmu, hanyalah amatiran.

Rhinovirus dan virus flu juga pintar. Mereka berbiak dan bermutasi dengan cepat. Mereka menyebabkan bersin, ingusan, mendesah pada korbannya, sehingga korbannya menderita dari segala arah.

Virus flu lebih pintar dari AIDS, karena mereka umumnya tidak membunuh si korban, hanya menyebabkan penderitaan, kemudian menginfeksi ke tetangga si korban.

Oh, Les Adgeson selalu menuduhku “memanusiakan” penelitian kami. Bila dia datang ke laboratorium, dan mengetahui aku sedang meningkatkan dosis obat obatan, maka dia akan bereaksi seperti biasanya.

Aku bisa menggambarkan reaksinya yaitu alis matanya bergerak ke atas, kemudian berkomentar dengan dialek Winchester.

Forry, si virus tidak bisa mendengarmu. Dia bukan mahluk hidup, bahkan tidak bergerak. Virus hanya kumpulan “genes” di dalam cangkang protein.”

Ya, Les, jawabku. Tapi genes yang mementingkan dirinya sendiri! Diberikan setengah saja kesempatan, maka mereka akan menginfeksi semua sel tubuh manusia, memaksa sel tubuh untuk memproduksi tentara virus baru kemudian meledak dan menyerang yang lain.”

Mereka mungkin tidak berpikir. Semua tingkah lakunya berevolusi berdasarkan random. Bukan karena perencanaan kan? Apakah mahluk kecil menjijikkan ini diarahkan oleh seseorang untuk membuat kita susah? Menyebabkan kita mati?”

Oh, Fory.” Les Adgeson akan tersenyum pada kecerdikanku. “Kamu takkan meminati bidang ini jika kamu tidak menemui keindahannya.”

Les, si tua yang baik. Dia tidak pernah bisa mengerti bahwa aku tertarik dengan virus karena alasan lain.

Aku tertarik dengan virus karena kulihat adalah mahluk sederhana yang tak pernah puas dan punya ambisi bahkan melebihi ambisi manuasi manapun.

Adalah fakta, virus tak punya otak, inilah yang membuatku tak ragu bahwa manusia lebih cerdas.

Kami bertemu ketika Les Adgeson berkunjung ke Austin saat liburan Sabbatical beberapa tahun lalu.

Dia kemudian mengundangku berkunjung ke Oxford, disanalah aku secara rutin berargumen tentang penyakit, semakin seru ketika hujan menetes di luar sana.

Les Adgeson dengan gaya pertemanan yang unik dan seni filsafatnya – hampir setiap waktu ngoceh tentang indah dan anggunnya mahluk yang bernama virus.

Aku tahu, dia agak “gila” dibandingkan dengan peneliti lainnya. Memiliki obsesi untuk mencari dan memecahkan teka teki virus yang arah arahnya sedikit untuk mendapatkan “reward” berupa: “dana penelitian,” memperlebar ruang labor, peralatan canggih dan prestise…. Dan mungkin pelan pelan memenangkan hadiah Nobel dari Swedia.

# Bersambung.
Diterjemahkan dan dimodifikasi dari judul asli: The Giving Plague oleh David Brin
Cerpen ini adalah pemenang kedua "Hugo Award."

17 comments:

  1. Meski datangb terlambat membaca rangkaian cerpen di seri ketiga ini, aku mengambil kesimpulan jika cerita ini sangat menarik.
    Terutama tokoh Les Adgeson.

    ReplyDelete
    Replies
    1. siip…

      Thanks:
      Pada Sebuah Wabah Penyakit – Cerpen 3 – bagian 1
      -
      Virus, ilustrasi (credit to Waag)

      Delete
  2. Ceritanya tentang virus ya. Sepertinya ada orang yang meneliti virus gitu. Kok jangan jangan memang benar virus Corona itu dari laboratorium.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Corona banyak jenisnya….diteliti sejak tahun 1955....yang Covid-19 jenis terbaru.

      Thanks:
      Pada Sebuah Wabah Penyakit – Cerpen 3 – bagian 1
      -
      “Kamu” pikir kamu akan “menyerang” aku? Ada sesuatu kejadian akan menimpamu, karena aku sudah ambil ancang ancang atas kelakuanmu.

      Delete
    2. Oh ternyata Corona banyak jenisnya dan bahkan sudah sejak tahun 1955, berarti sudah lama sekali ya pak.😃

      Delete
  3. Cerita yang menarik. Pengen cari juga versi aslinya, untuk belajar bahasa asing hehe
    Hebat ya pak, virus aja bisa jadi cerita yang begitu menarik
    Jadi terinspirasi bapak nih, pengen juga belajar menterjemahkan cerita asing di blog

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thanks -
      Pada Sebuah Wabah Penyakit – Cerpen 3 – bagian 1

      Karena itulah ada sebuah kartu di dalam dompetku yang menyebutkan aku berdarah AB negatif, serta menyatakan aku alergy terhadap penicillin, aspirin, dan phenylalanine.

      Delete
  4. hemmm menarik...alurnya...perspektif ceritanya juga...dengan pemeran si virus

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thanks -
      Pada Sebuah Wabah Penyakit – Cerpen 3 – bagian 1
      -
      Pernyataan lain di kartu adalah aku seorong ilmuwan yang punya komitmen terhadap agama. Semua info ini diharapkan menghambat keinginanmu bila saatnya tiba, sangat pasti akan segera datang.

      Delete
  5. Kl aku punya temen yg sukanya ngomongin virus mulu kayaknya aku ikutan cerdas deh ya drpd tiap ngborl ngegibah terus. Hhh

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thanks -
      Pada Sebuah Wabah Penyakit – Cerpen 3 – bagian 1
      -
      Meskipun jika akan menyebabkan perbedaan antara hidup dan mati, aku tidak akan membiarkan siapun memasukkan jarum transfusi ke lenganku. Tidakkan pernah darah bantuan masuk kedalam tubuhku.

      Delete
  6. kalau aku sih mending istirahat dirumah

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thanks -
      Pada Sebuah Wabah Penyakit – Cerpen 3 – bagian 1

      Tubuhku sudah punya antibody. Jadi menjauhlah dariku. Aku takkan menjadi korbanmu. Aku takkan membiarkan diriku jadi inang perantara.

      Delete
  7. Perjalanan sebuah virus yang menurut sebagian orang mematikan, memang iya, sebagian dari mereka tapi tidak untuk manusia yang berimun kuat, bahkan HIV, jika imun kuat virus itu akan tetap berdiam diri dan suatu saat menjadi boom waktu yang melemahkan semua imun dalam tubuh...

    ReplyDelete
    Replies
    1. benar…

      Thanks -
      Pada Sebuah Wabah Penyakit – Cerpen 3 – bagian 1

      Aku tahu kelemahanmu. Engkau rapuh, seperti iblis yang tidak kelihatan. Engkau tidak bisa hidup di udara, panas, dingin, asam atau di lingkungan basa. Dari darah ke darah, itulah rutemu.

      Delete
  8. Menarik sekali cerpennya,
    baca part selanjutnya dulu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thank you atas kehadirannya-
      Pada Sebuah Wabah Penyakit – Cerpen 3 – bagian 1

      Delete